Oleh: Muhammad Rahmat
- Latar Belakang Kemunculan Teori Ekonomi Biaya Transaksi
Pade era tahun 1950-an sampai dengan tahun
1960-an, teori perusahaan (theory of the
firm) yang digagas oleh kelompok ekonom
neoklasik menerima serangan kritik yang tajam dari berbagai pihak.
Kritik tersebut mengarah pada gugatan terhadap sejumlah asumsi yang
dinilai tidak realistis, khususnya mengenai sifat dasar dari
rasionalitas manusia (Hardt, 2009: 33). Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Dequech (2006: 121), rasionalitas dalam perspektif neoklasik
dipahami sebagai upaya untuk memaksimumkan utilitas atau kepuasan.
Konsep ini berakar dari model formal filsafat utilitarianisme yang
diistilahkan oleh Joseph Schumpeter sebagai “Benthamite
hedonistic rationalism” (Zafirovski,
2008: 801).
Karena asumsi tentang sifat dasar manusia yang
rasional maka tujuan utama dari eksistensi perusahaan (sebagaimana
yang dijelaskan oleh aliran neoklasik) ialah untuk memaksimalkan
profit/keuntungan (profit maximization).
Namun dalam perkembangannya telah banyak kritik dan tawaran
konseptual yang diajukan mengenai tujuan utama perusahaan. Hardt
(2009: 33) menyebutkan setidaknya terdapat empat tawaran konseptual
mengenai tujuan utama perusahaan. Pertama, untuk memuaskan beragam
ambisi manajer. Pandangan ini dikemukakan oleh Katona (1951) dalam
bukunya yang berjudul “Psychological
Analysis of Economic Behavior.”
Kedua, sebagaimana yang dikemukakan oleh Papandreou (1952) bahwa
tujuan utama perusahaan ialah untuk memaksimalkan apa yang disebutnya
sebagai “general preference
function”, yang merupakan agregasi
dari aspirasi sejumlah individu yang menjadi anggota sebuah
organisasi (perusahaan). Tawaran ketiga diajukan oleh Rothschild
(1947) yang mengemukakan bahwa tujuan utama perusahaan hanyalah agar
untuk dapat sekedar bertahan hidup (survive).
Sedangkan yang terakhir dikemukakan oleh Gordon (1948) dan Margolis
(1958), bahwa perusahaan eksis bukan untuk menghasilkan profit yang
maksimum (profit maximization)
melainkan untuk menciptakan profit yang memuaskan (satisfactory
profits).
Sebagai konsekuensi dari hadirnya kritik-kritik di
atas, muncul dua gugus teori yang masing-masing bertitik tolak dari
asumsi yang berbeda (Dequech, 2006: 122-123; Hardt, 2009: 34).
Pertama, gugus teori organisasi yang fokus pada isu desain struktur
insentif dalam perusahaan yang dapat menambah kesempatan untuk bisa
tetap bertahan di pasar. Kedua, teori perusahaan yang diilhami oleh
kajian di bidang psikologi kognitif. Teori ini mendekati persoalan
lebih pada isu pembuatan keputusan di dalam organisasi. Yang pertama
bertolak dari asumsi rasionalitas sempurna (perfect
rationality) sebagaimana yang diyakini
oleh mazhab neoklasik. Sedangkan yang kedua bertolak dari asumsi
rasionalitas terbatas (bounded
rationality).
Kemunculan teori biaya transaksi paling tidak
merupakan turunan dari adanya asumsi mengenai sifat rasionalitas yang
terbatas dalam diri individu dan pelaku ekonomi lainnya. Dengan kata
lain, karena rasionalitas manusia bersifat terbatas maka eksistensi
dari biaya transaksi selalu bersifat positif. Teori ekonomi biaya
transaksi berusaha untuk menganalisis organisasi dari perspektif
manusia kontraktual (contractual man)
yang didasarkan pada asumsi rasionalitas terbatas dan potensi
oportunisme dalam diri individu (Baudry dan Chassagnon, 2010: 482).
Dalam khazanah pemikiran Ekonomi Kelembagaan Baru
(New Institutional Economics)
teori biaya transaksi merupakan konsep penjelas yang sangat krusial
dalam mempelajari institusi dan organisasi (Meramveliotakis dan
Milonakis, 2010: 1046). Berkebalikan dengan teori neoklasik yang
mengasumsikan tidak adanya biaya transaksi, perspektif ekonomi
kelembagaan baru berusaha menjadikannya sebagai alat analisis untuk
menjelaskan fenomena ekonomi yang terjadi di dunia nyata. Karena pada
faktanya biaya transaksi selalu hadir dalam tiap aktivitas ekonomi,
maka pendekatan yang dibangun oleh Ekonomi Kelembagaan Baru jelas
lebih realistis dibandingkan dengan pendekatan teori neoklasik.
Secara lebih detail penjelasan konseptual mengenai
teori ekonomi biaya transaksi akan dijelaskan pada bagian
selanjutnya. Penjelasan tersebut meliputi definisi konsep biaya
transaksi, makna rasionalitas terbatas dan perilaku oportunistik
serta pengaruh ketidaksimetrisan informasi bagi timbulnya biaya
transaksi, dan variabel serta metode pengukuran biaya transaksi.
- Ulasan Teori Biaya Transaksi
- Definisi Biaya Transaksi
Konsep tentang biaya transaksi pertama kali
diperkenalkan oleh Ronald Coase pada tahun 1937 lewat artikel
popelernya yang berjudul “The Nature
of the Firm”. Sayangnya, artikel
tersebut kurang menjelaskan maksud dan arti dari konsep biaya
transaksi yang ingin dijelaskan oleh Coase. Sebagai konsekuensi dari
hal tersebut, buku-buku literatur ekonomi yang coba membahas mengenai
teori ekonomi biaya transaksi sering menampakkan adanya kontradiksi
antar satu sama lain (Fox, 2007: 378). Hal yang sama diungkapkan
pula oleh Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1047), yang menyatakan
bahwa konsep biaya transaksi masih menyisakan kesamaran dan kesulitan
dalam memahami definisinya. Untuk itu dibutuhkan upaya yang seksama
untuk mendefinisikan maksud dari konsep biaya transaksi.
Teori ekonomi biaya transaksi merupakan teori
ekonomi yang menganalisa sejumlah alasan mengenai eksistensi
perusahaan serta batasan-batasannya dalam konteks dimana pasar dan
organisasi dipertimbangkan sebagai alternatif bagi mekanisme aturan
pertukaran (Duran dan McNutt, 2010: 756-757; Todeva, 2010: 794). Oleh
karena itu, upaya untuk memahami konsep biaya transaksi tak bisa
dilepaskan dari pemahaman atas aktivitas yang meliputi proses
transaksi dan kontrak. Sebab sebagaimana yang ditegaskan oleh
Williamson (2010: 680)—yang merujuk pada pendapat Commons (1932)
dan Coase (1937, 1960)—unit analisis dari konsep biaya transaksi
ekonomi terletak pada transaksi itu sendiri. Coase mendefinisikan
kontrak sebagai keberlanjutan dari hubungan komersial. Penjelasan
Coase mengenai eksistensi perusahaan ialah bahwa hubungan kontrak
yang berkelanjutan merupakan alternatif menuju transaksi pasar dan
melalui beberapa hubungan orang-orang dapat menghindari adanya biaya
transaksi. Namun hubungan ini tidak bebas dengan sendirinya. Sebab
untuk mengembangkan dan memelihara hubungan/relasi menuju pada
interaksi komersial yang berkelanjutan maka dibutuhkan penggunaan
sumber daya yang pengeluarannya diperhitungkan sebagai opportunity
cost (Fox, 2007: 379).
Coase (1937), sebagaimana yang dikutip oleh Duran
dan McNutt (2010: 757), memasukkan biaya negosiasi (negotiating
cost), biaya monitoring (monitoring
cost), dan biaya pemaksaan kontrak
(enforcing cost)
sebagai bagian dari komponen biaya transaksi. Ketiga komponen ini
merupakan representasi dari proses yang berlangsung dalam sebuah
kontrak yang meliputi aktivitas pra-kontrak—penemuan partner
potensial serta negosiasi—dan aktivitas yang berlangsung pasca
kesepakatan kontrak (aktivitas untuk menegakkan aturan main
sebagaimana yang tertuang dalam isi kontrak).
Disamping itu Coase juga membuat tiga kategori
biaya transaksi, yakni: Pertama, biaya penemuan harga yang relevan,
yang meliputi biaya pencarian (search
cost). Biaya pencarian adalah nilai
dari sumberdaya yang digunakan oleh orang-orang untuk menemukan
partner potensial dalam rangka melaksanakan pertukaran sukarela, baik
secara bilateral maupun multilateral. Kedua, biaya negosiasi
(negotiation cost).
Biaya ini merupakan nilai dari sumberdaya yang digunakan dalam proses
perundingan dengan partner potensial untuk mencapai bentuk
kesepakatan yang sama-sama memuaskan. Dan yang terakhir adalah biaya
untuk mengakhiri pertukaran (concluding
cost), yakni nilai dari sumberdaya yang
digunakan oleh partisipan dalam pertukaran untuk memverivikasi
partisipan lain agar memenuhi seluruh isi kesepakatan kontrak (Fox,
2007: 378-379).
Upaya untuk mensistematisasi teori biaya transaksi
kembali dilakukan oleh Williamson (Duran dan McNutt, 2010: 757),
dimana arena pelaksanaan transaksi dibagi ke dalam dua kelompok besar
yakni, pasar dan hirarki (Todeva, 2010: 794). Secara lebih detail,
Beetham (1987) (seperti yang dikutip oleh Todeva, 2010: 796) membagi
hirarki ke dalam dua bentuk yakni, hirarki yang terdapat di dalam
pasar (perusahaan) dan hirarki yang terdapat di luar pasar
(pemerintah).
Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1048)
membedakan tiga definisi mengenai biaya transaksi, yakni, biaya
transaksi pasar (market transaction
costs), biaya transaksi pengawasan
(supervisory transaction costs),
serta biaya transaksi hak kepemilikan (property
rights transaction costs). Biaya
transaksi pasar merujuk pada biaya pencatatan dan pemaksaan kontrak
(enforcing contracts).
Sedangkan biaya transaksi pengawasan ialah biaya yang timbul di dalam
bentuk hirarkis organisasi. Dengan kata lain, biaya transaksi
pengawasan juga dapat diidentikkan dengan biaya untuk memonitor/
mengontrol berjalannya isi kesepakatan kontrak. Adapun yang dimaksud
dengan biaya transaksi hak kepemilikan adalah biaya untuk menjalankan
transaksi di bawah perbedaan rezim hak milik. Artinya biaya transaksi
muncul pada saat hak kepemilikan ditetapkan.
Adapun menurut Conner (1991) (sebagaimana yang
dikutip dalam Hardt, 2009: 39), teori ekonomi biaya transaksi (yang
digagas oleh Williamson) merupakan teori yang membicarakan tentang
perusahaan dalam posisinya sebagai sebuah entitas yang berupaya untuk
menghindari negativitas (an avoider of
negatives). Dalam hal ini ada tiga
jenis negativitas yang perlu dihindari oleh perusahaan yakni:
pertama, perusahaan sebagai sebuah entitas yang berupaya untuk
menghindari timbulnya biaya pertukaran yang tinggi di pasar. Kedua,
sebagai sebuah entitas yang berupaya menghindari resiko yang timbul
akibat adanya sejumlah masalah. Ketiga, sebagai sebuah entitas yang
berupaya untuk menghindari hubungan (relasi) pasar yang oportunistik.
- Rasionalitas Terbatas, Oportunisme, dan Ketidaksempurnaan Informasi
Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1057)
menyebutkan dua asumsi perilaku dalam teori ekonomi biaya transaksi
yakni:
- Pertama, rasionalitas terbatas.
- Kedua, oportunisme.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Cordes et.al
(2011: 2), dimana biaya transaksi menjadi signifikan disaat perilaku
rasional yang terbatas hadir bersamaan dengan sikap oportunisme.
Bagian ini akan menjelaskan definisi dan pengaruh
dari konsep rasionalitas terbatas dan oportunisme terhadap biaya
transaksi ekonomi. Disamping itu juga kaitan antara ketidaksempurnaan
informasi terhadap keberadaan biaya transaksi tak bisa diabaikan
begitu saja, sehingga hal ini membutuhkan penjelasan yang lebih
lanjut.
Jika ditinjau lebih kebelakang, konsep
rasionalitas dalam analisis ekonomi sudah ada sejak periode mazhab
ekonomi klasik. Menurut Zafirovski (2008: 793) teori yang dibangun
oleh mazhab klasik bekerja melalui dasar konsepsi rasionalitas
pencerahan. Atau dengan kata lain rasionalitas yang dianut oleh
mazhab klasik merupakan tipe rasionalitas dalam bentuk akal budi
manusia (human reason)
yang dianggap memiliki kekuatan superior dan progresif.
Selanjutnya dalam mazhab ekonomi neoklasik tipe
rasionalitas yang dianut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat
utilitarianisme yang pertama kali digagas oleh seorang filosof
Inggris bernama Jeremy Bentham. Manusia, menurut Bentham, ialah
makhluk yang selalu berusaha untuk mencari kesenangan (pleasure)
dan menghindari penderitaan (pain).
Maka berangkat dari pemikiran ini, konsepsi manusia sebagai homo
economicus juga diasumsikan selalu
berupaya untuk mewujudkan kepuasan maksimum (maximizing
utility) serta meminimalisir segala
sesuatu yang membuat terjadinya pengurangan kepuasan (minimizing
dis-utility).
Ekonom pertama dari aliran neoklasik yang
merumuskan atribut perilaku manusia berdasarkan pemikiran-pemikiran
Bentham ialah Stanley Jevons (Zafirovski, 2008: 801). Jevons
mengusulkan pondasi teori ekonomi yang memasukkan konsepsi
rasionalitas dalam bentuk yang hedonistik-utilitarian. Melalui
konsepsi ini teori ekonomi dibangun agar bisa memprediksi tindakan
manusia. Dengan demikian “rational
economic man” diadopsi menjadi asumsi
dasar dari pondasi bangunan teori ekonomi.
Dequech (2006: 121) membagi hipotesis
maksilalisasi kepuasan (the utility
maximization hypothesis) kedalam tiga
versi yang berbeda, yakni:
- Pertama, berdasarkan versi deskriptif / positivistik (positive version), di mana tindakan manusia dalam kenyataan dianggap bebas untuk memaksimumkan kepuasan yang diharapkan.
- Kedua, berdasarkan versi normatif (normative version), di mana manusia sebaiknya bertindak untuk memaksimumkan kepuasanny` dalam tatanan tindakan yang rasional.
- Ketiga, berdasarkan versi “seolah-olah” (as if version), di mana manusia dipandang sebagai makhluk yang seolah-olah berupaya untuk memaksimumkan utilitasnya, tanpa secara aktual melakukan perhitungan / kalkulasi, sehingga dengan demikian pertimbangan sadar yang menjadi syarat pemenuhannya menjadi tidak terpenuhi.
Versi ketiga dari hipotesis maksimalisasi kepuasan
identik dengan asumsi perilaku rasional individu yang terbatas.
Konsep rasionalitas terbatas (bounded
rationality) merupakan salah satu teori
mengenai perilaku manusia dalam suatu pengambilan keputusan yang
pertama kali digagas oleh Herbert Simon (Sent, 2005: 227).
Rasionalitas terbatas sebagaimana yang dijelaskan oleh Simon (seperti
yang dikutip dalam Hardt, 2009: 34) ialah bahwa manusia, “[they]
are intentionally rational, but only to a limited extent”.
Maka berangkat dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara konsep rasionalitar terbatas dengan hipotesis
maksimalisasi kepuasan berdasarkan versi “seolah-olah” (as
if version)—sebagaimana yang
dijelaskan oleh Dequech— adalah identik antar satu sama lain.
Versi pertama dari hipotesis maksimalisasi
kepuasan (versi deskriptif / positivistik) digunakan secara total
dalam bangunan teori ekonomi neoklasik. Sedangkan dalam aliran
ekonomi kelembagaan baru, bangunan teori-teorinya sering menggunakan
hipotesis maksimalisasi kepuasan berdasarkan versi “seolah-olah”
(as if version).
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Dequech (2006: 122) yang
menyatakan bahwa karakteristik dari ekonomi kelembagaan baru (New
Institutional Economics—NIE) ditandai
dengan penggunaan asumsi rasionalitas terbatas pada sejumlah analisis
teoritisnya. Jika teori neoklasik memandang manusia sebagai “economic
man”, maka aliran ekonomi kelembagaan
baru memandang manusia sebagai “organizational
man”, yang ditandai dengan adanya
keterbatasan kapasitas kognitif dan kalkulatif yang dimiliki oleh
individu (Hardt, 2009: 34).
Sebagai salah satu cabang dari ekonomi kelembagaan
baru, teori ekonomi biaya transaksi juga tidak lepas dari penggunaan
asumsi perilaku rasionalitas terbatas. Dalam karyanya yang berjudul
“Markets and Hierarchies: Analysis and
Antitrust Implications”, Williamson
(1975) menggunakan konsep rasionalitas terbatas sebagai bukti bahwa
manusia sesungguhnya memiliki kemampuan yang tidak sempurna dalam
memproses sejumlah informasi. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut
manusia tak jarang mengambil keputusan yang tidak tepat bahkan
membuat keputusan berdasarkan penggunaan informasi yang keliru. Hal
ini akhirnya berujung pada terjadinya peningkatan biaya transaksi
(Todeva, 2010: 758).
Williamson menghubungkan antara konsep
rasionalitas terbatas dengan faktor kompleksitas (complexity)
dan ketidakpastian (uncertainty)
(Pessali, 2006: 51). Kompleksitas berkaitan dengan kesulitan individu
dalam mengelola informasi yang mereka miliki. Sedangkan
ketidakpastian muncul sebagai akibat dari terbatasnya akurasi
kesimpulan dan keberadaan informasi yang tidak sempurna. Dalam hal
ini tak ada satu pihak pun yang dapat memastikan bahwa kontrak dapat
berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dalam literatur teori ekonomi biaya transaksi,
oportunisme ditenggarai sebagai salah satu determinan yang
menyebabkan timbulnya biaya transaksi (Duran dan McNutt, 2010: 756).
Williamson (dalam Pessali, 2006: 54) mendefinisikan oportunisme
sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan individu dengan cara yang
tidak jujur atau dengan jalan menghilangkan keterusterangan dalam
transaksi. Dengan kata lain, oportunisme adalah sebuah upaya untuk
mendapat keuntungan dengan cara-cara yang tidak pantas.
Semakin tinggi peluang bagi munculnya perilaku
oportunistik maka semakin besar pula biaya transaksi yang timbul
(Cordes et.al, 2011: 12). Peningkatan biaya transaksi tersebut
disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk meningkatkan upaya koordinasi
serta peningkatan biaya pemenuhan (compliance
cost) yang kesemuanya itu akan
menyebakan membengkaknya biaya untuk negosiasi (negotiating),
penyusunan draft (drafting),
pengawasan (monitoring),
usaha perlindungan (safeguarding),
dan pemaksaan kesatuan kontrak (enforcing
contingent contracts).
Kaitan antara oportunisme dengan kemunculan biaya
transaksi juga dapat ditelusuri dari segi ketidaksempurnaan kontrak
(incomplete contract).
Pada dasarnya tak satupun dari aturan kontrak yang sempurna secara
mutlak. Sebab kemampuan rasional manusia juga bersifat terbatas
(Pessali, 2006: 53). Selain itu ketidaksempurnaan kontrak juga
disebabkan oleh adanya ketidakpastian (uncertainty)
yang diakibatkan oleh adanya ketidaksempurnaan informasi serta
kesulitan dalam hal pengukuran (assesment).
Meskipun demikian keberadaan kontrak tetap menjadi relevan karena ia
menyediakan payung bagi banyak pihak yang ingin terlibat dalam
aktivitas transaksi. Disamping itu, kontrak juga tetap relevan karena
ia membuka kemungkinan bagi upaya perbaikan secara terus menerus.
Upaya perbaikan aturan kontrak pada akhirnya menyebabkan timbulnya
biaya transaksi. Sebab upaya perbaikan meniscayakan timbulnya biaya
negosiasi (negotiating cost),
pengontrolan (monitoring cost),
dan pemaksaan (enforcing cost)
dari kesepakatan aturan kontrak baru yang ingin dibuat.
Williamson (dalam Duran dan McNutt, 2010: 759)
mengasumsikan bahwa individu, pada situasi dimana ketidaksetaraan
informasi (asymmetric information)
terjadi, berpotensi untuk berperilaku oportunistik, dimana mereka
menggunakan informasi yang dimiliki untuk memenuhi ambisi pribadi
dalam sebuah situasi transaksi ekonomi. Ia juga membagi perilaku
oportunistik ke dalam dua sifat, yakni: pertama, ex
ante opportunism; dan, kedua, ex
post opportunism. Yang dimaksud dengan
ex ante opportunism ialah
perilaku oportunistik yang timbul manakala salah satu pihak yang
terlibat dalam transaksi hanya memiliki informasi yang terbatas
mengenai objek transaksi. Ex ante
opportunism muncul sepanjang periode
negosiasi kontrak dimana pihak yang memiliki jumlah informasi lebih
banyak bisa menggunakannya untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara
yang tidak sehat. Meskipun demikian hal ini dapat diatasi setelah
transaksi menjadi lengkap. Sedangkan ex
post opportunism merupakan situasi
dimana salah satu pihak menguasai informasi lebih banyak dibandingkan
dengan pihak lain dimana potensi terjadinya moral
hazard tak dapat di`tasi sekalipun saat
transaksi telah terjadi. Ex post
opportunism timbul setelah kesepakatan
kontrak dibuat dalam bentuk pengingkaran atau ketidakpatuhan terhadap
isi kesepakatan kontrak yang sudah sama-sama disetujui. Ex
post opportunism juga mungkin timbul
dalam situasi dimana salah satu pihak mengambil keuntungan dari
kerentanan (vulnerability)
pihak lain yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan
profitabilitasnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
informasi yang asimetris (asymmetric
information) merupakan pemicu dari
timbulnya perilaku oportunistik, dimana hal tersebut berujung pada
timbulnya biaya transaksi. Selain daripada itu, penjelasan di atas
juga menyiratkan bahwa informasi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi besarnya daya kekuatan (power)
pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Hubungan antara berbagai
pihak yang terlibat dalam transaksi ini, yang memiliki kadar
pengetahuan informasi berbeda-beda, pada akhirnya membentuk sebuah
pola relasi kekuasaan dalam sebuah skema transaksi.
- Variabel dan Pengukuran Biaya Transaksi
Masih sangat jarang ditemukan literatur teoritis
yang membicarakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi besaran
biaya transaksi. Begitupun dalam hal pengukurannya, sangat sulit
menemukan literatur yang membahas secara tuntas bagaimana metode
pengukuran variabel biaya transaksi. Boleh jadi hal ini disebabkan
oleh kekhasan tiap-tiap kasus yang variabel maupun pengukurannya
tidak mungkin untuk digeneralisir. Sedangkan menurut Meramveliotakis
dan Milonakis (2010: 1053), kesulitan dalam pengukuran biaya
transaksi disebabkan oleh tidak adanya definisi yang tepat mengenai
konsep ini.
Klaes (sebagaimana yang dikutip dalam
Meramveliotakis dan Milonakis, 2010: 1054) membedakan antara
pendekatan objektif (objectivist
approach) untuk pengukuran biaya
transaksi dan pendekatan subjektif (subjectivist
approach). Pendekatan objektif mencoba
untuk mengukur biaya transaksi secara kuantitatif dengan menggunakan
bantuan harga pasar. Sedangkan pendekatan subjektif, yang merujuk
pada Cheung dan Williamson, mencoba mempertanyakan kemungkinan
pencapaian hasil estimasi kuantitatif yang sesuai dengan kenyataan.
Berangkat dari dua pendekatan di atas biaya
dibedakan ke dalam dua kelompok, yakni biaya objektif (objective
costs / accountancy costs) dan biaya
subjektif (subjective costs / economic
costs). Biaya objektif merupakan biaya
yang dapat diukur (measurable).
Sedangkan yang dimaksud dengan biaya subjektif ialah biaya yang tak
dapat diukur karena tak mampu diamati oleh pengamat luar [Rothbard
(1997) dalam Meramveliotakis dan Milonakis, 2010: 1054]. Disamping
itu juga biaya subjektif merupakan biaya yang tidak terefleksikan
oleh harga pasar. Pembedaan ini cukup penting mengingat bahwa setiap
upaya untuk mengoperasionalisasikan konsep biaya transaksi dalam
bentuk kuantitatif berangkat dari pengklasifikasian ini. Namun
pembedaan semacam ini menimbulkan masalah tersendiri pada pengukuran
biaya transaksi. Sebab pembedaan semacam ini memperlihatkan kesulitan
yang tak dapat diatasi tentang bagaimana konsep biaya transaksi dapat
diaplikasikan.
Sebagai jalan keluar atas permasalahan ini, ada
beberapa pihak [seperti Shelanski dan Klein (1995) serta Vannoni
(2002)] yang menawarkan metode pengukuran secara tidak langsung.
Namun tak satupun dari hasil riset empiris yang mencoba
mengaplikasikan solusi ini mampu memberikan suatu hasil ukuran level
absolut dari biaya transaksi pada kasus-kasus yang ditelitinya
(Meramveliotakis dan Milonakis, 2010: 1054). Selain itu, keterbatasan
dalam hal pengukuran, yang menggunakan berbagai macam proksi untuk
direduksi ke dalam satu bentuk persamaan, hanya relevan bila
diterapkan pada level mikro lapangan bisnis. Dengan kata lain,
penggunaan metode tidak langsung dalam hal pengukuran biaya transaksi
tidak memadai untuk digunakan dalam konteks kajian ekonomi secara
lebih luas (perekonomian secara keseluruhan).
Meskipun demikian terdapat beberapa literatur yang
secara global membicarakan mengenai topik variabel biaya transaksi.
Berdasarkan tiga komponen biaya transaksi yang diidentifikasi oleh
Coase, Fox (2007: 380) mengelaborasi beberapa faktor yang bisa
mempengaruhi penurunan biaya transaksi. Pertama, perkembangan
teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi dapat menurunkan
biaya transaksi karena melalui teknologi, ketidakpastian yang timbul
akibat ketidaksempurnaan informasi dapat dikurangi. Secara lebih
spesifik, kemajuan teknologi informasi sangat membantu dalam
mengurangi jumlah biaya penc`rian (search
cost). Faktor kedua yang dapat
mempengaruhi penurunan biaya transaksi ialah modal sosial (social
capital). Secara sederhana modal sosial
dapat didefinisikan sebagai sumber daya pengetahuan dan organisasi
yang dapat meningkatkan potensi individual maupun tindakan kolektif
dalam lingkup sistem sosial manusia (McElroy, et.al., 2006: 125).
Adapun Wallis dan North (1986), dalam
Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1054), mencoba merintis sebuah
metode pengukuran biaya transaksi yang dapat digunakan dalam konteks
perekonomian secara lebih luas. Wallis dan North membagi perekonomian
secara keseluruhan ke dalam dua bagian, yakni, sektor transformasi
atau produksi dan sektor transaksi. Setelah melakukan pembagian
tersebut, Wallis dan North kemudian melakukan pengukuran atas nilai
total dari sumberdaya yang digunakan pada sektor transaksi. Nilai
total sumberdaya yang digunakan pada sektor transaksi inilah yang
dijadikan sebagai ukuran agregat dari biaya transaksi yang timbul
pada perekonomian secara luas. Ukuran biaya transaksi tersebut
dinyatakan dalam bentuk persentase dari GNP (gross
national product).
Daftar
Pustaka
Baudry, Bernard dan Virgile Chassagnon. 2010. The
Close Relation Between Organization Theory and Oliver Williamson’s
Transaction Cost Economics: A Theory of the Firm Perspective. Journal
of Institutional Economics. Vol. 6, No.
4, pp. 477–503.
Cordes, Christian, Peter Richerson, Richard M
Celreath, dan Pontus Strimling. 2011. How Does Opportunistic Behavior
Influence Firm Size? An Evolutionary Approach to Organizational
Behavior. Journal of Institutional
Economics. Vol. 7, No. 1, pp. 1–21.
Dequech, David. 2006. The New Institutional
Economics and the Theory of Behaviour Under Uncertainty. Journal
of Economic Behavior & Organization.
Vol. 59, pp. 109–131.
Duran, Xavier dan Patrick McNutt. 2010. Kantian
Ethics within Transaction Cost Economics. International
Journal of Social Economics. Vol. 37,
No. 10, pp. 755-763.
Fox, Glenn. 2007. The Real Coase Theorems. Cato
Journal. Vol. 27, No. 3, pp. 373-396.
Hardt, Lukasz. 2009. The History of Transaction
Cost Economics and its Recent Developments. Erasmus
Journal for Philosophy and Economics.
Vol. 2, Issue 1, pp. 29-51.
McElroy, Mark W, Rene´ J. Jorna dan Jo van
Engelen. 2006. Rethinking Social Capital Theory: a Knowledge
Management Perspective. Journal of
Knowledge Management. Vol. 10, No. 5,
pp. 124-136.
Meramveliotakis, Giorgos dan Dimitris Milonakis.
2010. Surveying the Transaction Cost Foundations of New Institutional
Economics: A Critical Inquiry. Journal
of Economic Issues. Vol. XLIV, No. 4,
pp. 1045-1071.
Pessali, Huascar F. 2006. The Rhetoric of Oliver
Williamson’s Transaction Cost Economics. Journal
of Institutional Economics. Vol. 2,
No.1, pp. 45-65.
Sent, Esther-Mirjam. 2005. Simplifying Herbert
Simon. History of Political Economy.
Vol. 37, No. 2, pp. 227-232.
Todeva, Emanuela. 2010. Thenretical Tensions
Between Regulation, Governance, and Strategic Behaviour in a
Federated World Order. International
Journal of Social Economics. Vol. 37,
No. 10, pp. 784-801.
Zafirovski, Milan. 2008. Classical and
Neoclassical Conceptions of Rationality—Findings of an Exploratory
Survey. The Journal of Socio-Economics.
Vol. 37, pp. 789–820.
Williamson, Oliver. 2010. Transaction Cost
Economics: The Natural Progression. American
Economic Review. Vol. 100, No. 3, pp.
673–690.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar