Total Tayangan Halaman

Sabtu, 05 Mei 2012

Teori Ekonomi Biaya Transaksi

Oleh: Muhammad Rahmat
  1. Latar Belakang Kemunculan Teori Ekonomi Biaya Transaksi
Pade era tahun 1950-an sampai dengan tahun 1960-an, teori perusahaan (theory of the firm) yang digagas oleh kelompok ekonom neoklasik menerima serangan kritik yang tajam dari berbagai pihak. Kritik tersebut mengarah pada gugatan terhadap sejumlah asumsi yang dinilai tidak realistis, khususnya mengenai sifat dasar dari rasionalitas manusia (Hardt, 2009: 33). Sebagaimana yang diungkapkan oleh Dequech (2006: 121), rasionalitas dalam perspektif neoklasik dipahami sebagai upaya untuk memaksimumkan utilitas atau kepuasan. Konsep ini berakar dari model formal filsafat utilitarianisme yang diistilahkan oleh Joseph Schumpeter sebagai “Benthamite hedonistic rationalism” (Zafirovski, 2008: 801).
Karena asumsi tentang sifat dasar manusia yang rasional maka tujuan utama dari eksistensi perusahaan (sebagaimana yang dijelaskan oleh aliran neoklasik) ialah untuk memaksimalkan profit/keuntungan (profit maximization). Namun dalam perkembangannya telah banyak kritik dan tawaran konseptual yang diajukan mengenai tujuan utama perusahaan. Hardt (2009: 33) menyebutkan setidaknya terdapat empat tawaran konseptual mengenai tujuan utama perusahaan. Pertama, untuk memuaskan beragam ambisi manajer. Pandangan ini dikemukakan oleh Katona (1951) dalam bukunya yang berjudul “Psychological Analysis of Economic Behavior.” Kedua, sebagaimana yang dikemukakan oleh Papandreou (1952) bahwa tujuan utama perusahaan ialah untuk memaksimalkan apa yang disebutnya sebagai “general preference function”, yang merupakan agregasi dari aspirasi sejumlah individu yang menjadi anggota sebuah organisasi (perusahaan). Tawaran ketiga diajukan oleh Rothschild (1947) yang mengemukakan bahwa tujuan utama perusahaan hanyalah agar untuk dapat sekedar bertahan hidup (survive). Sedangkan yang terakhir dikemukakan oleh Gordon (1948) dan Margolis (1958), bahwa perusahaan eksis bukan untuk menghasilkan profit yang maksimum (profit maximization) melainkan untuk menciptakan profit yang memuaskan (satisfactory profits).
Sebagai konsekuensi dari hadirnya kritik-kritik di atas, muncul dua gugus teori yang masing-masing bertitik tolak dari asumsi yang berbeda (Dequech, 2006: 122-123; Hardt, 2009: 34). Pertama, gugus teori organisasi yang fokus pada isu desain struktur insentif dalam perusahaan yang dapat menambah kesempatan untuk bisa tetap bertahan di pasar. Kedua, teori perusahaan yang diilhami oleh kajian di bidang psikologi kognitif. Teori ini mendekati persoalan lebih pada isu pembuatan keputusan di dalam organisasi. Yang pertama bertolak dari asumsi rasionalitas sempurna (perfect rationality) sebagaimana yang diyakini oleh mazhab neoklasik. Sedangkan yang kedua bertolak dari asumsi rasionalitas terbatas (bounded rationality).
Kemunculan teori biaya transaksi paling tidak merupakan turunan dari adanya asumsi mengenai sifat rasionalitas yang terbatas dalam diri individu dan pelaku ekonomi lainnya. Dengan kata lain, karena rasionalitas manusia bersifat terbatas maka eksistensi dari biaya transaksi selalu bersifat positif. Teori ekonomi biaya transaksi berusaha untuk menganalisis organisasi dari perspektif manusia kontraktual (contractual man) yang didasarkan pada asumsi rasionalitas terbatas dan potensi oportunisme dalam diri individu (Baudry dan Chassagnon, 2010: 482).
Dalam khazanah pemikiran Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics) teori biaya transaksi merupakan konsep penjelas yang sangat krusial dalam mempelajari institusi dan organisasi (Meramveliotakis dan Milonakis, 2010: 1046). Berkebalikan dengan teori neoklasik yang mengasumsikan tidak adanya biaya transaksi, perspektif ekonomi kelembagaan baru berusaha menjadikannya sebagai alat analisis untuk menjelaskan fenomena ekonomi yang terjadi di dunia nyata. Karena pada faktanya biaya transaksi selalu hadir dalam tiap aktivitas ekonomi, maka pendekatan yang dibangun oleh Ekonomi Kelembagaan Baru jelas lebih realistis dibandingkan dengan pendekatan teori neoklasik.
Secara lebih detail penjelasan konseptual mengenai teori ekonomi biaya transaksi akan dijelaskan pada bagian selanjutnya. Penjelasan tersebut meliputi definisi konsep biaya transaksi, makna rasionalitas terbatas dan perilaku oportunistik serta pengaruh ketidaksimetrisan informasi bagi timbulnya biaya transaksi, dan variabel serta metode pengukuran biaya transaksi.
  1. Ulasan Teori Biaya Transaksi
    1. Definisi Biaya Transaksi
Konsep tentang biaya transaksi pertama kali diperkenalkan oleh Ronald Coase pada tahun 1937 lewat artikel popelernya yang berjudul “The Nature of the Firm”. Sayangnya, artikel tersebut kurang menjelaskan maksud dan arti dari konsep biaya transaksi yang ingin dijelaskan oleh Coase. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, buku-buku literatur ekonomi yang coba membahas mengenai teori ekonomi biaya transaksi sering menampakkan adanya kontradiksi antar satu sama lain (Fox, 2007: 378). Hal yang sama diungkapkan pula oleh Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1047), yang menyatakan bahwa konsep biaya transaksi masih menyisakan kesamaran dan kesulitan dalam memahami definisinya. Untuk itu dibutuhkan upaya yang seksama untuk mendefinisikan maksud dari konsep biaya transaksi.
Teori ekonomi biaya transaksi merupakan teori ekonomi yang menganalisa sejumlah alasan mengenai eksistensi perusahaan serta batasan-batasannya dalam konteks dimana pasar dan organisasi dipertimbangkan sebagai alternatif bagi mekanisme aturan pertukaran (Duran dan McNutt, 2010: 756-757; Todeva, 2010: 794). Oleh karena itu, upaya untuk memahami konsep biaya transaksi tak bisa dilepaskan dari pemahaman atas aktivitas yang meliputi proses transaksi dan kontrak. Sebab sebagaimana yang ditegaskan oleh Williamson (2010: 680)—yang merujuk pada pendapat Commons (1932) dan Coase (1937, 1960)—unit analisis dari konsep biaya transaksi ekonomi terletak pada transaksi itu sendiri. Coase mendefinisikan kontrak sebagai keberlanjutan dari hubungan komersial. Penjelasan Coase mengenai eksistensi perusahaan ialah bahwa hubungan kontrak yang berkelanjutan merupakan alternatif menuju transaksi pasar dan melalui beberapa hubungan orang-orang dapat menghindari adanya biaya transaksi. Namun hubungan ini tidak bebas dengan sendirinya. Sebab untuk mengembangkan dan memelihara hubungan/relasi menuju pada interaksi komersial yang berkelanjutan maka dibutuhkan penggunaan sumber daya yang pengeluarannya diperhitungkan sebagai opportunity cost (Fox, 2007: 379).
Coase (1937), sebagaimana yang dikutip oleh Duran dan McNutt (2010: 757), memasukkan biaya negosiasi (negotiating cost), biaya monitoring (monitoring cost), dan biaya pemaksaan kontrak (enforcing cost) sebagai bagian dari komponen biaya transaksi. Ketiga komponen ini merupakan representasi dari proses yang berlangsung dalam sebuah kontrak yang meliputi aktivitas pra-kontrak—penemuan partner potensial serta negosiasi—dan aktivitas yang berlangsung pasca kesepakatan kontrak (aktivitas untuk menegakkan aturan main sebagaimana yang tertuang dalam isi kontrak).
Disamping itu Coase juga membuat tiga kategori biaya transaksi, yakni: Pertama, biaya penemuan harga yang relevan, yang meliputi biaya pencarian (search cost). Biaya pencarian adalah nilai dari sumberdaya yang digunakan oleh orang-orang untuk menemukan partner potensial dalam rangka melaksanakan pertukaran sukarela, baik secara bilateral maupun multilateral. Kedua, biaya negosiasi (negotiation cost). Biaya ini merupakan nilai dari sumberdaya yang digunakan dalam proses perundingan dengan partner potensial untuk mencapai bentuk kesepakatan yang sama-sama memuaskan. Dan yang terakhir adalah biaya untuk mengakhiri pertukaran (concluding cost), yakni nilai dari sumberdaya yang digunakan oleh partisipan dalam pertukaran untuk memverivikasi partisipan lain agar memenuhi seluruh isi kesepakatan kontrak (Fox, 2007: 378-379).
Upaya untuk mensistematisasi teori biaya transaksi kembali dilakukan oleh Williamson (Duran dan McNutt, 2010: 757), dimana arena pelaksanaan transaksi dibagi ke dalam dua kelompok besar yakni, pasar dan hirarki (Todeva, 2010: 794). Secara lebih detail, Beetham (1987) (seperti yang dikutip oleh Todeva, 2010: 796) membagi hirarki ke dalam dua bentuk yakni, hirarki yang terdapat di dalam pasar (perusahaan) dan hirarki yang terdapat di luar pasar (pemerintah).
Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1048) membedakan tiga definisi mengenai biaya transaksi, yakni, biaya transaksi pasar (market transaction costs), biaya transaksi pengawasan (supervisory transaction costs), serta biaya transaksi hak kepemilikan (property rights transaction costs). Biaya transaksi pasar merujuk pada biaya pencatatan dan pemaksaan kontrak (enforcing contracts). Sedangkan biaya transaksi pengawasan ialah biaya yang timbul di dalam bentuk hirarkis organisasi. Dengan kata lain, biaya transaksi pengawasan juga dapat diidentikkan dengan biaya untuk memonitor/ mengontrol berjalannya isi kesepakatan kontrak. Adapun yang dimaksud dengan biaya transaksi hak kepemilikan adalah biaya untuk menjalankan transaksi di bawah perbedaan rezim hak milik. Artinya biaya transaksi muncul pada saat hak kepemilikan ditetapkan.
Adapun menurut Conner (1991) (sebagaimana yang dikutip dalam Hardt, 2009: 39), teori ekonomi biaya transaksi (yang digagas oleh Williamson) merupakan teori yang membicarakan tentang perusahaan dalam posisinya sebagai sebuah entitas yang berupaya untuk menghindari negativitas (an avoider of negatives). Dalam hal ini ada tiga jenis negativitas yang perlu dihindari oleh perusahaan yakni: pertama, perusahaan sebagai sebuah entitas yang berupaya untuk menghindari timbulnya biaya pertukaran yang tinggi di pasar. Kedua, sebagai sebuah entitas yang berupaya menghindari resiko yang timbul akibat adanya sejumlah masalah. Ketiga, sebagai sebuah entitas yang berupaya untuk menghindari hubungan (relasi) pasar yang oportunistik.
    1. Rasionalitas Terbatas, Oportunisme, dan Ketidaksempurnaan Informasi
Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1057) menyebutkan dua asumsi perilaku dalam teori ekonomi biaya transaksi yakni:
  • Pertama, rasionalitas terbatas.
  • Kedua, oportunisme.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Cordes et.al (2011: 2), dimana biaya transaksi menjadi signifikan disaat perilaku rasional yang terbatas hadir bersamaan dengan sikap oportunisme.
Bagian ini akan menjelaskan definisi dan pengaruh dari konsep rasionalitas terbatas dan oportunisme terhadap biaya transaksi ekonomi. Disamping itu juga kaitan antara ketidaksempurnaan informasi terhadap keberadaan biaya transaksi tak bisa diabaikan begitu saja, sehingga hal ini membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut.
Jika ditinjau lebih kebelakang, konsep rasionalitas dalam analisis ekonomi sudah ada sejak periode mazhab ekonomi klasik. Menurut Zafirovski (2008: 793) teori yang dibangun oleh mazhab klasik bekerja melalui dasar konsepsi rasionalitas pencerahan. Atau dengan kata lain rasionalitas yang dianut oleh mazhab klasik merupakan tipe rasionalitas dalam bentuk akal budi manusia (human reason) yang dianggap memiliki kekuatan superior dan progresif.
Selanjutnya dalam mazhab ekonomi neoklasik tipe rasionalitas yang dianut sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat utilitarianisme yang pertama kali digagas oleh seorang filosof Inggris bernama Jeremy Bentham. Manusia, menurut Bentham, ialah makhluk yang selalu berusaha untuk mencari kesenangan (pleasure) dan menghindari penderitaan (pain). Maka berangkat dari pemikiran ini, konsepsi manusia sebagai homo economicus juga diasumsikan selalu berupaya untuk mewujudkan kepuasan maksimum (maximizing utility) serta meminimalisir segala sesuatu yang membuat terjadinya pengurangan kepuasan (minimizing dis-utility).
Ekonom pertama dari aliran neoklasik yang merumuskan atribut perilaku manusia berdasarkan pemikiran-pemikiran Bentham ialah Stanley Jevons (Zafirovski, 2008: 801). Jevons mengusulkan pondasi teori ekonomi yang memasukkan konsepsi rasionalitas dalam bentuk yang hedonistik-utilitarian. Melalui konsepsi ini teori ekonomi dibangun agar bisa memprediksi tindakan manusia. Dengan demikian “rational economic man” diadopsi menjadi asumsi dasar dari pondasi bangunan teori ekonomi.
Dequech (2006: 121) membagi hipotesis maksilalisasi kepuasan (the utility maximization hypothesis) kedalam tiga versi yang berbeda, yakni:
  • Pertama, berdasarkan versi deskriptif / positivistik (positive version), di mana tindakan manusia dalam kenyataan dianggap bebas untuk memaksimumkan kepuasan yang diharapkan.
  • Kedua, berdasarkan versi normatif (normative version), di mana manusia sebaiknya bertindak untuk memaksimumkan kepuasanny` dalam tatanan tindakan yang rasional.
  • Ketiga, berdasarkan versi “seolah-olah” (as if version), di mana manusia dipandang sebagai makhluk yang seolah-olah berupaya untuk memaksimumkan utilitasnya, tanpa secara aktual melakukan perhitungan / kalkulasi, sehingga dengan demikian pertimbangan sadar yang menjadi syarat pemenuhannya menjadi tidak terpenuhi.

Versi ketiga dari hipotesis maksimalisasi kepuasan identik dengan asumsi perilaku rasional individu yang terbatas. Konsep rasionalitas terbatas (bounded rationality) merupakan salah satu teori mengenai perilaku manusia dalam suatu pengambilan keputusan yang pertama kali digagas oleh Herbert Simon (Sent, 2005: 227). Rasionalitas terbatas sebagaimana yang dijelaskan oleh Simon (seperti yang dikutip dalam Hardt, 2009: 34) ialah bahwa manusia, “[they] are intentionally rational, but only to a limited extent”. Maka berangkat dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara konsep rasionalitar terbatas dengan hipotesis maksimalisasi kepuasan berdasarkan versi “seolah-olah” (as if version)—sebagaimana yang dijelaskan oleh Dequech— adalah identik antar satu sama lain.
Versi pertama dari hipotesis maksimalisasi kepuasan (versi deskriptif / positivistik) digunakan secara total dalam bangunan teori ekonomi neoklasik. Sedangkan dalam aliran ekonomi kelembagaan baru, bangunan teori-teorinya sering menggunakan hipotesis maksimalisasi kepuasan berdasarkan versi “seolah-olah” (as if version). Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Dequech (2006: 122) yang menyatakan bahwa karakteristik dari ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economics—NIE) ditandai dengan penggunaan asumsi rasionalitas terbatas pada sejumlah analisis teoritisnya. Jika teori neoklasik memandang manusia sebagai “economic man”, maka aliran ekonomi kelembagaan baru memandang manusia sebagai “organizational man”, yang ditandai dengan adanya keterbatasan kapasitas kognitif dan kalkulatif yang dimiliki oleh individu (Hardt, 2009: 34).
Sebagai salah satu cabang dari ekonomi kelembagaan baru, teori ekonomi biaya transaksi juga tidak lepas dari penggunaan asumsi perilaku rasionalitas terbatas. Dalam karyanya yang berjudul “Markets and Hierarchies: Analysis and Antitrust Implications”, Williamson (1975) menggunakan konsep rasionalitas terbatas sebagai bukti bahwa manusia sesungguhnya memiliki kemampuan yang tidak sempurna dalam memproses sejumlah informasi. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut manusia tak jarang mengambil keputusan yang tidak tepat bahkan membuat keputusan berdasarkan penggunaan informasi yang keliru. Hal ini akhirnya berujung pada terjadinya peningkatan biaya transaksi (Todeva, 2010: 758).
Williamson menghubungkan antara konsep rasionalitas terbatas dengan faktor kompleksitas (complexity) dan ketidakpastian (uncertainty) (Pessali, 2006: 51). Kompleksitas berkaitan dengan kesulitan individu dalam mengelola informasi yang mereka miliki. Sedangkan ketidakpastian muncul sebagai akibat dari terbatasnya akurasi kesimpulan dan keberadaan informasi yang tidak sempurna. Dalam hal ini tak ada satu pihak pun yang dapat memastikan bahwa kontrak dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dalam literatur teori ekonomi biaya transaksi, oportunisme ditenggarai sebagai salah satu determinan yang menyebabkan timbulnya biaya transaksi (Duran dan McNutt, 2010: 756). Williamson (dalam Pessali, 2006: 54) mendefinisikan oportunisme sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan individu dengan cara yang tidak jujur atau dengan jalan menghilangkan keterusterangan dalam transaksi. Dengan kata lain, oportunisme adalah sebuah upaya untuk mendapat keuntungan dengan cara-cara yang tidak pantas.
Semakin tinggi peluang bagi munculnya perilaku oportunistik maka semakin besar pula biaya transaksi yang timbul (Cordes et.al, 2011: 12). Peningkatan biaya transaksi tersebut disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk meningkatkan upaya koordinasi serta peningkatan biaya pemenuhan (compliance cost) yang kesemuanya itu akan menyebakan membengkaknya biaya untuk negosiasi (negotiating), penyusunan draft (drafting), pengawasan (monitoring), usaha perlindungan (safeguarding), dan pemaksaan kesatuan kontrak (enforcing contingent contracts).
Kaitan antara oportunisme dengan kemunculan biaya transaksi juga dapat ditelusuri dari segi ketidaksempurnaan kontrak (incomplete contract). Pada dasarnya tak satupun dari aturan kontrak yang sempurna secara mutlak. Sebab kemampuan rasional manusia juga bersifat terbatas (Pessali, 2006: 53). Selain itu ketidaksempurnaan kontrak juga disebabkan oleh adanya ketidakpastian (uncertainty) yang diakibatkan oleh adanya ketidaksempurnaan informasi serta kesulitan dalam hal pengukuran (assesment). Meskipun demikian keberadaan kontrak tetap menjadi relevan karena ia menyediakan payung bagi banyak pihak yang ingin terlibat dalam aktivitas transaksi. Disamping itu, kontrak juga tetap relevan karena ia membuka kemungkinan bagi upaya perbaikan secara terus menerus. Upaya perbaikan aturan kontrak pada akhirnya menyebabkan timbulnya biaya transaksi. Sebab upaya perbaikan meniscayakan timbulnya biaya negosiasi (negotiating cost), pengontrolan (monitoring cost), dan pemaksaan (enforcing cost) dari kesepakatan aturan kontrak baru yang ingin dibuat.
Williamson (dalam Duran dan McNutt, 2010: 759) mengasumsikan bahwa individu, pada situasi dimana ketidaksetaraan informasi (asymmetric information) terjadi, berpotensi untuk berperilaku oportunistik, dimana mereka menggunakan informasi yang dimiliki untuk memenuhi ambisi pribadi dalam sebuah situasi transaksi ekonomi. Ia juga membagi perilaku oportunistik ke dalam dua sifat, yakni: pertama, ex ante opportunism; dan, kedua, ex post opportunism. Yang dimaksud dengan ex ante opportunism ialah perilaku oportunistik yang timbul manakala salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi hanya memiliki informasi yang terbatas mengenai objek transaksi. Ex ante opportunism muncul sepanjang periode negosiasi kontrak dimana pihak yang memiliki jumlah informasi lebih banyak bisa menggunakannya untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara yang tidak sehat. Meskipun demikian hal ini dapat diatasi setelah transaksi menjadi lengkap. Sedangkan ex post opportunism merupakan situasi dimana salah satu pihak menguasai informasi lebih banyak dibandingkan dengan pihak lain dimana potensi terjadinya moral hazard tak dapat di`tasi sekalipun saat transaksi telah terjadi. Ex post opportunism timbul setelah kesepakatan kontrak dibuat dalam bentuk pengingkaran atau ketidakpatuhan terhadap isi kesepakatan kontrak yang sudah sama-sama disetujui. Ex post opportunism juga mungkin timbul dalam situasi dimana salah satu pihak mengambil keuntungan dari kerentanan (vulnerability) pihak lain yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan profitabilitasnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa informasi yang asimetris (asymmetric information) merupakan pemicu dari timbulnya perilaku oportunistik, dimana hal tersebut berujung pada timbulnya biaya transaksi. Selain daripada itu, penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa informasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya daya kekuatan (power) pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Hubungan antara berbagai pihak yang terlibat dalam transaksi ini, yang memiliki kadar pengetahuan informasi berbeda-beda, pada akhirnya membentuk sebuah pola relasi kekuasaan dalam sebuah skema transaksi.
    1. Variabel dan Pengukuran Biaya Transaksi
Masih sangat jarang ditemukan literatur teoritis yang membicarakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi besaran biaya transaksi. Begitupun dalam hal pengukurannya, sangat sulit menemukan literatur yang membahas secara tuntas bagaimana metode pengukuran variabel biaya transaksi. Boleh jadi hal ini disebabkan oleh kekhasan tiap-tiap kasus yang variabel maupun pengukurannya tidak mungkin untuk digeneralisir. Sedangkan menurut Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1053), kesulitan dalam pengukuran biaya transaksi disebabkan oleh tidak adanya definisi yang tepat mengenai konsep ini.
Klaes (sebagaimana yang dikutip dalam Meramveliotakis dan Milonakis, 2010: 1054) membedakan antara pendekatan objektif (objectivist approach) untuk pengukuran biaya transaksi dan pendekatan subjektif (subjectivist approach). Pendekatan objektif mencoba untuk mengukur biaya transaksi secara kuantitatif dengan menggunakan bantuan harga pasar. Sedangkan pendekatan subjektif, yang merujuk pada Cheung dan Williamson, mencoba mempertanyakan kemungkinan pencapaian hasil estimasi kuantitatif yang sesuai dengan kenyataan.
Berangkat dari dua pendekatan di atas biaya dibedakan ke dalam dua kelompok, yakni biaya objektif (objective costs / accountancy costs) dan biaya subjektif (subjective costs / economic costs). Biaya objektif merupakan biaya yang dapat diukur (measurable). Sedangkan yang dimaksud dengan biaya subjektif ialah biaya yang tak dapat diukur karena tak mampu diamati oleh pengamat luar [Rothbard (1997) dalam Meramveliotakis dan Milonakis, 2010: 1054]. Disamping itu juga biaya subjektif merupakan biaya yang tidak terefleksikan oleh harga pasar. Pembedaan ini cukup penting mengingat bahwa setiap upaya untuk mengoperasionalisasikan konsep biaya transaksi dalam bentuk kuantitatif berangkat dari pengklasifikasian ini. Namun pembedaan semacam ini menimbulkan masalah tersendiri pada pengukuran biaya transaksi. Sebab pembedaan semacam ini memperlihatkan kesulitan yang tak dapat diatasi tentang bagaimana konsep biaya transaksi dapat diaplikasikan.
Sebagai jalan keluar atas permasalahan ini, ada beberapa pihak [seperti Shelanski dan Klein (1995) serta Vannoni (2002)] yang menawarkan metode pengukuran secara tidak langsung. Namun tak satupun dari hasil riset empiris yang mencoba mengaplikasikan solusi ini mampu memberikan suatu hasil ukuran level absolut dari biaya transaksi pada kasus-kasus yang ditelitinya (Meramveliotakis dan Milonakis, 2010: 1054). Selain itu, keterbatasan dalam hal pengukuran, yang menggunakan berbagai macam proksi untuk direduksi ke dalam satu bentuk persamaan, hanya relevan bila diterapkan pada level mikro lapangan bisnis. Dengan kata lain, penggunaan metode tidak langsung dalam hal pengukuran biaya transaksi tidak memadai untuk digunakan dalam konteks kajian ekonomi secara lebih luas (perekonomian secara keseluruhan).
Meskipun demikian terdapat beberapa literatur yang secara global membicarakan mengenai topik variabel biaya transaksi. Berdasarkan tiga komponen biaya transaksi yang diidentifikasi oleh Coase, Fox (2007: 380) mengelaborasi beberapa faktor yang bisa mempengaruhi penurunan biaya transaksi. Pertama, perkembangan teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi dapat menurunkan biaya transaksi karena melalui teknologi, ketidakpastian yang timbul akibat ketidaksempurnaan informasi dapat dikurangi. Secara lebih spesifik, kemajuan teknologi informasi sangat membantu dalam mengurangi jumlah biaya penc`rian (search cost). Faktor kedua yang dapat mempengaruhi penurunan biaya transaksi ialah modal sosial (social capital). Secara sederhana modal sosial dapat didefinisikan sebagai sumber daya pengetahuan dan organisasi yang dapat meningkatkan potensi individual maupun tindakan kolektif dalam lingkup sistem sosial manusia (McElroy, et.al., 2006: 125).
Adapun Wallis dan North (1986), dalam Meramveliotakis dan Milonakis (2010: 1054), mencoba merintis sebuah metode pengukuran biaya transaksi yang dapat digunakan dalam konteks perekonomian secara lebih luas. Wallis dan North membagi perekonomian secara keseluruhan ke dalam dua bagian, yakni, sektor transformasi atau produksi dan sektor transaksi. Setelah melakukan pembagian tersebut, Wallis dan North kemudian melakukan pengukuran atas nilai total dari sumberdaya yang digunakan pada sektor transaksi. Nilai total sumberdaya yang digunakan pada sektor transaksi inilah yang dijadikan sebagai ukuran agregat dari biaya transaksi yang timbul pada perekonomian secara luas. Ukuran biaya transaksi tersebut dinyatakan dalam bentuk persentase dari GNP (gross national product).


(Catatan: DILARANG KERAS memplagiat tulisan ini. Silahkan menjadikannya sebagai bahan referensi dengan mencantumkan sumber rujukan)

Daftar Pustaka


Baudry, Bernard dan Virgile Chassagnon. 2010. The Close Relation Between Organization Theory and Oliver Williamson’s Transaction Cost Economics: A Theory of the Firm Perspective. Journal of Institutional Economics. Vol. 6, No. 4, pp. 477–503.

Cordes, Christian, Peter Richerson, Richard M Celreath, dan Pontus Strimling. 2011. How Does Opportunistic Behavior Influence Firm Size? An Evolutionary Approach to Organizational Behavior. Journal of Institutional Economics. Vol. 7, No. 1, pp. 1–21.

Dequech, David. 2006. The New Institutional Economics and the Theory of Behaviour Under Uncertainty. Journal of Economic Behavior & Organization. Vol. 59, pp. 109–131.

Duran, Xavier dan Patrick McNutt. 2010. Kantian Ethics within Transaction Cost Economics. International Journal of Social Economics. Vol. 37, No. 10, pp. 755-763.

Fox, Glenn. 2007. The Real Coase Theorems. Cato Journal. Vol. 27, No. 3, pp. 373-396.

Hardt, Lukasz. 2009. The History of Transaction Cost Economics and its Recent Developments. Erasmus Journal for Philosophy and Economics. Vol. 2, Issue 1, pp. 29-51.

McElroy, Mark W, Rene´ J. Jorna dan Jo van Engelen. 2006. Rethinking Social Capital Theory: a Knowledge Management Perspective. Journal of Knowledge Management. Vol. 10, No. 5, pp. 124-136.

Meramveliotakis, Giorgos dan Dimitris Milonakis. 2010. Surveying the Transaction Cost Foundations of New Institutional Economics: A Critical Inquiry. Journal of Economic Issues. Vol. XLIV, No. 4, pp. 1045-1071.

Pessali, Huascar F. 2006. The Rhetoric of Oliver Williamson’s Transaction Cost Economics. Journal of Institutional Economics. Vol. 2, No.1, pp. 45-65.

Sent, Esther-Mirjam. 2005. Simplifying Herbert Simon. History of Political Economy. Vol. 37, No. 2, pp. 227-232.

Todeva, Emanuela. 2010. Thenretical Tensions Between Regulation, Governance, and Strategic Behaviour in a Federated World Order. International Journal of Social Economics. Vol. 37, No. 10, pp. 784-801.

Zafirovski, Milan. 2008. Classical and Neoclassical Conceptions of Rationality—Findings of an Exploratory Survey. The Journal of Socio-Economics. Vol. 37, pp. 789–820.

Williamson, Oliver. 2010. Transaction Cost Economics: The Natural Progression. American Economic Review. Vol. 100, No. 3, pp. 673–690.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar